Wednesday, January 25, 2012
3Way-Split Beatdown Hardcore "BILD THE TRVE FRIENDSHIP"
Media yang ngrilis telat posting nih hehehe!! No Problemo.. Rilisan (project) Split pertama FANTASI LIAR ini bekerja sama dengan PATIRASA RECORDS sebuah net-label asal Bantul, Yogyakarta yang empunya juga seorang personil band drone-ambyent yang akrab disapa Wednes. Dan penyebaran split ini dibantu oleh BETTERDAY Zine (Sebuah zine asal Jogja yang membahas Vegan, Straight Edge, Hardcore milik xEL VEGANOx yang punya banyak project-an band seperti LIOSALFAR (Metalichardcore), xLIFETIMEx (Beatdown Hardcore), RICHARD'S BLACK HAT (Punk Rock) dan masih banyak lagi hehe) dan WETHEPEOPLE! (web-blog empunya xWHISNUx pencabik Bass sebuah band OldSkull Hardcore asal Bandung yang namanya juga WETHEPEOPLE!) serta dibantu teman-teman semua tentunya!!
Split ini sengaja dibuat sebagai bentuk PROTES terhadap Stop Online Piracy Act (SOPA) & Protect Intellectual Property Act (PIPA)... SUCKS! karena Free-Download adalah sebuah cara (media) yang sangat membantu dalam mendistribusikan karya-karya band-band Underground dalam era Pembajakan ini.
Selain itu, Apresiasi besar patut diberikan kepada ketiga band dalam split ini karena (mereka) GERBANG SINGA (Surakarta), FIGHT ANOTHER DAY (Klaten) dan ONE STEP DOWN (Suffolk, UK) adalah band-band yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan berkontribusi besar dalam pembangunan scene di masing-masing (scene) asalnya.
Gak usah bertele-tele, langsung download dah!!
Realesed by
FANTASI LIAR Zine & PATIRASA Records
Media Partners
BETTERDAY Zine & WHETEPEOPLE!
Friday, January 20, 2012
Release Now!! Single “Waiting Room” From PATHETIC WALTZ
Akhirnya, setelah menunggu dalam sebuah ruang, satu bulan lalu. Single yang sebelumnya sudah dikenalkan lewat video live di youtube.com akhirnya keluar dalam versi original. Waiting Room diciptakan Andi Getta Prayudha dalam format akustik, tunggu press releasenya nanti malam!!! Silahkan nikmati…
Contact:
PATHETIC WALTZ
Contact:
PATHETIC WALTZ
Wednesday, January 18, 2012
MUNCHAUSEN TRILEMMA – If Loving You is Heartbreaking [single] (2012) free-download
Memperkenalkan girlband terbaru dari Bumi Parahyangan yang meminjam nostalgia dari gemuruh suara kaset C90, Munchausen Trilemma.
Munchausen Trilemma digagas oleh Diantra Irawan yang lebih dulu dikenal sebagai vokalis band indiepop / bossa-nova, Hollywood Nobody. Suatu hari ia terpikir untuk membuat band dengan personil yang kesemuanya wanita.
Pencarian personil dilakukan Dian melalui media sosial Twitter. Gaung bersambut meriah. Setelah beberapa pertemuan dengan para calon personil, Dian merasa memiliki ikatan yang kuat dengan Riska Maharlika (gitar) dan Vinda Monalisa (drum).
“Begitu ketemu mereka, gue langsung nyambung. Ternyata begitu sadar, keduanya kidal. Kebetulan banget,” kata Dian.
Lalu secara resmi terbentuklah Munchausen Trilemma. Setelah band terbentuk, lalu lagu pun lahir dari senandung Dian di suatu malam.
“Awalnya gue pengen musik Munchausen Trilemma itu seperti perkawinan antara Warpaint dan Best Coast tapi sepertinya gagal yah,” jelas Dian seraya tertawa saat ditanya arah musikal dari band terbarunya ini.
Lagu “If Loving You is Heartbreaking” yang pada awalnya ingin meniupkan nafas indie-rock terkini malah berangsur-angsur menjadi sebuah lagu yang sarat dengan aroma nostalgia era 90-an seperti yang banyak dilakukan band-band ‘alternatif’ di kala itu melalui suguhan vokal wanita di antara raungan distorsi dengan sensibilitas pop yang tinggi.
Seminggu yang lalu, “If Loving You is Heartbreaking” versi demo diperdengarkan ke publik. Berbagai respon positif berdatangan, dari teman, media hingga beberapa pihak di luar Indonesia yang kesemuanya itu menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi sebuah band yang belum tiga bulan berdiri.
Nama Munchausen Trilemma sendiri diambil Dian dari salah satu blogpost-nya terdahulu. Sebuah istilah psikologi yang mengemukakan bahwa tidak ada satu pernyataan yang bisa dibuktikan kebenarannya.
Lagu “If Loving You is Heartbreaking” yang Anda dengar sekarang adalah sebuah salam jumpa sekaligus pernyataan dari Munchausen Trilemma bahwa band ini akan bergemuruh lebih kencang dan suatu hari mereka akan dapat membuktikan pernyataannya.
9 Januari 2012
Dimas Ario (Ballad of the Cliché)
credits:
mixing and mastering done by Rizki Suciana
producer Aris Nugraha
music director Joe Novaliano
***
photo taken by Marnala Eros
located at Tikalika Gallery, Bandung
make up artist Meygador
Contact:
munchausen trilemma
Munchausen Trilemma digagas oleh Diantra Irawan yang lebih dulu dikenal sebagai vokalis band indiepop / bossa-nova, Hollywood Nobody. Suatu hari ia terpikir untuk membuat band dengan personil yang kesemuanya wanita.
Pencarian personil dilakukan Dian melalui media sosial Twitter. Gaung bersambut meriah. Setelah beberapa pertemuan dengan para calon personil, Dian merasa memiliki ikatan yang kuat dengan Riska Maharlika (gitar) dan Vinda Monalisa (drum).
“Begitu ketemu mereka, gue langsung nyambung. Ternyata begitu sadar, keduanya kidal. Kebetulan banget,” kata Dian.
Lalu secara resmi terbentuklah Munchausen Trilemma. Setelah band terbentuk, lalu lagu pun lahir dari senandung Dian di suatu malam.
“Awalnya gue pengen musik Munchausen Trilemma itu seperti perkawinan antara Warpaint dan Best Coast tapi sepertinya gagal yah,” jelas Dian seraya tertawa saat ditanya arah musikal dari band terbarunya ini.
Lagu “If Loving You is Heartbreaking” yang pada awalnya ingin meniupkan nafas indie-rock terkini malah berangsur-angsur menjadi sebuah lagu yang sarat dengan aroma nostalgia era 90-an seperti yang banyak dilakukan band-band ‘alternatif’ di kala itu melalui suguhan vokal wanita di antara raungan distorsi dengan sensibilitas pop yang tinggi.
Seminggu yang lalu, “If Loving You is Heartbreaking” versi demo diperdengarkan ke publik. Berbagai respon positif berdatangan, dari teman, media hingga beberapa pihak di luar Indonesia yang kesemuanya itu menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi sebuah band yang belum tiga bulan berdiri.
Nama Munchausen Trilemma sendiri diambil Dian dari salah satu blogpost-nya terdahulu. Sebuah istilah psikologi yang mengemukakan bahwa tidak ada satu pernyataan yang bisa dibuktikan kebenarannya.
Lagu “If Loving You is Heartbreaking” yang Anda dengar sekarang adalah sebuah salam jumpa sekaligus pernyataan dari Munchausen Trilemma bahwa band ini akan bergemuruh lebih kencang dan suatu hari mereka akan dapat membuktikan pernyataannya.
9 Januari 2012
Dimas Ario (Ballad of the Cliché)
credits:
mixing and mastering done by Rizki Suciana
producer Aris Nugraha
music director Joe Novaliano
***
photo taken by Marnala Eros
located at Tikalika Gallery, Bandung
make up artist Meygador
Contact:
munchausen trilemma
Tuesday, January 17, 2012
FIGHT ANOTHER DAY | Demo | 2011
Dua lagu yang langsung bisa dengar warna beatdown hc yang mereka suguhkan. Sedikit influens CDC di sana-sini bagian lagu. Vokal serak yang ciamik meladeni musik mereka yang memang menuntut karakter vokal yang serak-kental.
Walopun sound gitar yang ditampilkan masih sedikit terdengar muddy, namun secara keseluruhan oke punya!! Hasil rekamannya pun joss untuk demo! Nice job friends! Demo ini cocok buat para penyuka CDC, TERROR, THROWDOWN, DOMESTIC WAR, dan sejenisnya!
Band yang lahir tahun 2010 ini tinggi jam terbangnya. Dan perkembangan scene hardcore di Klaten (yang menamakan diri sebagai GuyubLudrukCrew) pun mendukung momen ini. Maju terus untuk FIGHT ANOTHER DAY dan scene hardcore di sana! (xEVx)
Kontak:
Myspace
WILD SHOW (18/02/2012)
Wow wow wow... HEAVEN SHALL BURN datang ke Jogja!! Band metalcore asal Jerman yang satu ini bisa dibilang salah satu pioneer jaman jaya-jayanya metalcore pertengahan 90an yang masih bertahan dan bahkan menjadi sangat besar hingga hari ini. Kali ini tidak tanggung-tanggung, mereka mengadakan show di Jogja! Sebuah event bernama "Wild Show" yang diselenggarakan oleh Starcross ini akan menampilkan juga band-band pendamping yang tidak kalah galaknya: SERINGAI, SERIGALA MALAM, dan HANDS UPON SALVATION.
Selain SERINGAI dan SERIGALA MALAM, tentunya penampilan HANS UPON SALVATION (HUS) juga sangat layak ditunggu. Setelah vakum manggung yang sangat lama (setelah mereka merilis materi untuk full length), tentunya aksi mereka kali ini banyak ditunggu. Band metalcore ala 'metalcore 90an' sekarang ini sangat jarang, jadi rasanya cocok memasukkan nama HUS di deretan band pendamping di acara ini. (xEVx)
Starcross presents:
"WILD SHOW"
Sharing performance:
HEAVEN SHALL BURN
SERINGAI
SERIGALA MALAM
HANDS UPON SALVATION
Venue:
@ Liquid Cafe, Yogyakarta
18 Februari 2012
Ticket presale:
50.000 (sampai 29 Januari) di Starcross Store
75.000 (30 Januari - 16 Februari) di Starcross Store
100.000 (at the venue)
More info: @Starcross_
"WILD SHOW"
Sharing performance:
HEAVEN SHALL BURN
SERINGAI
SERIGALA MALAM
HANDS UPON SALVATION
Venue:
@ Liquid Cafe, Yogyakarta
18 Februari 2012
Ticket presale:
50.000 (sampai 29 Januari) di Starcross Store
75.000 (30 Januari - 16 Februari) di Starcross Store
100.000 (at the venue)
More info: @Starcross_
ISTILAH CUTTING EDGE MUSIC
Istilah Cutting Edge yang belakangan ini beredar di dunia musik merujuk pada sebuah arti penjelajahan musikal yang beraneka ragam sehingga menghasilkan karya yang unik dan mempunyai perbedaan tajam dengan musik mainstream sehingga menghasilkan suatu budaya tanding. Istilah ini seakan muncul sebagai bentuk rasa ketidakpuasan akan terminologi "indie" yang selama ini sudah kadung disalah-artikan. Perdebatan mengenai musik mainstream dengan budaya tandingnya tidak akan ada habisnya dan mungkin tidak akan pernah bisa dikaji definisi tepatnya secara pasti mengingat beberapa media salah kaprah menempatkan musik non-mainstream ke dalam ranah abu-abu yang bahkan terkadang memberikan label "indie" kepada suatu artis/band hanya karena artis/band itu sebatas memproduksi album dengan etos "do it yourself". Secara bahasa memang indie berasal dari kata independent yang berarti bebas, merdeka, tidak bergantung kepada orang lain.
Berangkat dari situlah terminologi cutting edge muncul. Musik cutting edge acapkali dinilai sebagai musikalisasi yang keluar dari jalur dan terkadang membuat orang berekspektasi bahwa musik cutting edge adalah musik yang susah dicerna dan menjadi konsumsi orang-orang berselera aneh. Point inilah yang menjadi rancu dan salah kaprah.
Mari kita bahas dengan alur yang runtut. Sejauh ini publik menilai dan menggeneralisasi artis/band yang berkarya secara do it yourself sebagai artis/band indie meskipun musik yang dibawakannya amat mainstream sekali misalnya. Ini tidak sepenuhnya salah, mengingat persepsi ini timbul dari pengertian status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label. Pemahaman ini menimbulkan jenis musisi "indie karena gagal major". Terpaksa merilis karyanya secara independen karena tidak ada major label yang tertarik, misalnya. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie ? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Pada dasarnya etos indie muncul karena ada artis/band dengan idealisme tinggi yang tidak menghendaki adanya campur tangan label dalam proses kreatifnya dan menginginkan kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi yang seringkali tidak sejalan dengan pakem bisnis dari major label ataupun jalur mainstream (kita ambil contoh dari Death Vomit, band asal Jogja yang berkeras memilih balik kandang jika produser tetap meminta mereka mengubah gaya vokalnya menjadi lebih bernyanyi pada kompilasi Metalik Klinik I di tahun 1997). Atas tafsir sempit itu tadilah maka kemudian berkembang istilah cutting edge, paham dimana selain melakukan pendobrakan atas kelumrahan, juga menjadi pembeda atas mereka yang masuk dalam golongan "indie karena gagal major".
Lalu, bagaimanakah menentukan suatu jenis musik, apakah termasuk cutting edge atau bukan?
Sulit rasanya menjawab pertanyaan tersebut. Bisa saja dijawab: "musik cutting edge itu musik yang sudah naik tingkatannya dari indie, naik strata. Lebih memerlukan ekstra pemahaman untuk mengapresiasinya, lebih rumit struktur musiknya, musiknya kaum minoritas". Tapi ternyata tidak bisa seperti itu juga, karena ternyata musik yang mendekati mainstream dan easy listening pun bisa masuk kategori cutting edge. Elemen pembedanya adalah berani merubah cara penyampaian pesan dari suatu karya. Misalkan pada industri musik lokal saat ini trendnya adalah lagu dengan tema-tema percintaan dan perselingkuhan, maka artis/band yang mempunyai jiwa cutting edge akan bisa memperoleh sudut pandang yang berbeda dari tema yang sama sehingga tidak klise. Ambil contoh Melancholic Bitch dan Efek Rumah Kaca yang walaupun amat ramah di telinga tapi kualitasnya jauh diatas artis/band yang rajin muncul di acara musik pagi hari. No offense, and no description needed kan?
Cutting edge bukanlah suatu pergerakan yang menginginkan pencitraan tampil beda. Tidak sesederhana itu. Cutting edge adalah apresiasi dari kebebasan berekspresi tanpa diboncengi ekspektasi berlebihan. Lihatlah bagaimana Kurt Cobain menjadi stres lalu bunuh diri karena Nirvana menjadi amat mainstream dan terkenal. Ini adalah contoh dari mereka yang bekerja karena idealismenya, bukannya demi uang dan popularitas semata.
Apakah term cutting edge hanya berlaku di dunia non-mainstream saja? Jawabannya adalah tidak. Faktanya adalah beberapa artis/band yang diberkahi dengan daya kreasi yang luar biasa dan tergabung dalam major label, pun bagian dari ranah mainstream mempunyai perilaku dan pola pikir yang justru cutting edge sekali. Menciptakan musik yang ramah publik namun kaya akan idealisme. Tidak klise dan tidak pasaran tapi mampu menciptakan pasar. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music (major) namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena root, character dan attitude mereka adalah indie.
Mari kita bahas dengan alur yang runtut. Sejauh ini publik menilai dan menggeneralisasi artis/band yang berkarya secara do it yourself sebagai artis/band indie meskipun musik yang dibawakannya amat mainstream sekali misalnya. Ini tidak sepenuhnya salah, mengingat persepsi ini timbul dari pengertian status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label. Pemahaman ini menimbulkan jenis musisi "indie karena gagal major". Terpaksa merilis karyanya secara independen karena tidak ada major label yang tertarik, misalnya. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie ? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Pada dasarnya etos indie muncul karena ada artis/band dengan idealisme tinggi yang tidak menghendaki adanya campur tangan label dalam proses kreatifnya dan menginginkan kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi yang seringkali tidak sejalan dengan pakem bisnis dari major label ataupun jalur mainstream (kita ambil contoh dari Death Vomit, band asal Jogja yang berkeras memilih balik kandang jika produser tetap meminta mereka mengubah gaya vokalnya menjadi lebih bernyanyi pada kompilasi Metalik Klinik I di tahun 1997). Atas tafsir sempit itu tadilah maka kemudian berkembang istilah cutting edge, paham dimana selain melakukan pendobrakan atas kelumrahan, juga menjadi pembeda atas mereka yang masuk dalam golongan "indie karena gagal major".
Lalu, bagaimanakah menentukan suatu jenis musik, apakah termasuk cutting edge atau bukan?
Sulit rasanya menjawab pertanyaan tersebut. Bisa saja dijawab: "musik cutting edge itu musik yang sudah naik tingkatannya dari indie, naik strata. Lebih memerlukan ekstra pemahaman untuk mengapresiasinya, lebih rumit struktur musiknya, musiknya kaum minoritas". Tapi ternyata tidak bisa seperti itu juga, karena ternyata musik yang mendekati mainstream dan easy listening pun bisa masuk kategori cutting edge. Elemen pembedanya adalah berani merubah cara penyampaian pesan dari suatu karya. Misalkan pada industri musik lokal saat ini trendnya adalah lagu dengan tema-tema percintaan dan perselingkuhan, maka artis/band yang mempunyai jiwa cutting edge akan bisa memperoleh sudut pandang yang berbeda dari tema yang sama sehingga tidak klise. Ambil contoh Melancholic Bitch dan Efek Rumah Kaca yang walaupun amat ramah di telinga tapi kualitasnya jauh diatas artis/band yang rajin muncul di acara musik pagi hari. No offense, and no description needed kan?
Cutting edge bukanlah suatu pergerakan yang menginginkan pencitraan tampil beda. Tidak sesederhana itu. Cutting edge adalah apresiasi dari kebebasan berekspresi tanpa diboncengi ekspektasi berlebihan. Lihatlah bagaimana Kurt Cobain menjadi stres lalu bunuh diri karena Nirvana menjadi amat mainstream dan terkenal. Ini adalah contoh dari mereka yang bekerja karena idealismenya, bukannya demi uang dan popularitas semata.
Apakah term cutting edge hanya berlaku di dunia non-mainstream saja? Jawabannya adalah tidak. Faktanya adalah beberapa artis/band yang diberkahi dengan daya kreasi yang luar biasa dan tergabung dalam major label, pun bagian dari ranah mainstream mempunyai perilaku dan pola pikir yang justru cutting edge sekali. Menciptakan musik yang ramah publik namun kaya akan idealisme. Tidak klise dan tidak pasaran tapi mampu menciptakan pasar. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music (major) namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena root, character dan attitude mereka adalah indie.
Menilik dari contoh diatas, maka cara paling mudah mendeskripsikan perbedaan musik mainstream dengan budaya tandingnya ada pada Root, Character serta Attitudenya. Sebagai budaya tanding, maka sudah tentu pihak cutting edge adalah opposite dari mainstream. Akar musiknya, karakter dari idealismenya serta perilaku personal mencerminkan perbedaan paham yang mencolok sekali. Maka jelaslah, bagaimanapun anda membesarkan band anda dengan etos do it yourself atau secara swadaya, jika pola pikir anda sangat mainstream sekali dan menghasilkan sesuatu yang mainstream pula, saya rasa anda tahu anda berada di pihak yang mana.(DOZAN ALFIAN)
Zine : ”Sebuah Media Alternatif Sebagai Sarana Perayaan Kebebasan Untuk Menulis”
Zine secara garis besar adalah sebuah media alternatif non komersial/non profit yang di publikasikan sendiri oleh penulisnya, dikerjakan secara non konvensional (dalah hal ini tidak ada deadline yang mengikat, tata bahasa yang seringnya tidak baku, menggunakan lay out yang sebisanya) dan diproduksi biasanya melalui proses fotokopi atau cetak sederhana. Dalam hal ini sirkulasi zine juga terbatas di bawah 5000 eksemplar walaupun pada kenyataannya sering kurang dari 1000 eksemplar.
Zine seringnya tidak dijual, kalaupun di jual harganya hanya sebatas harga foto kopi. Sementara di kalangan para pembuat zine berlaku sistem trade/barter zine maupun iklan zine.
Fanzine adalah kategori tertua dari zine sehingga mungkin banyak orang yang menganggap semua zine adalah fanzine. Secara sederhana fanzine adalah sebuah media publikasi antar penggemar/fans untuk mendiskusikan nuansa berbagai macam kultur dalam sebuah media. Fanzine sendiri dikelompokkan dalam beberapa bagian seperti: fanzine fiksi ilmiah, musik, olahraga, televisi,film dan lain lain.
Sementara itu selain fanzine, zine sendiri juga terdapat beberapa macam, semisal zine personal, yang di bagi lagi menjadi zine politis dengan P besar dan p kecil, dimana di dalamnya terdapat zine personal atau perzine, zine scene, zine network, zine kultur horor dan luar angkasa, zine agama dan kepercayaan,zine seks, zine kesehatan, zine perjalanan, zine sastra, zine seni serta masih banyak lagi.
Kebanyakan karakter orang yang membuat zine di era awal perkembangan zine di US adalah mereka-mereka yang kebanyakan merupakan orang-orang yang di kucilkan oleh lingkungannya, orang-orang aneh, kutubuku, serta kurang pergaulan. Mereka menyatakan kehidupannya yang menyedihkan dan membuat segala hal tentang diri mereka yang tidak nampak tadi menjadi sebuah wujud yang begitu jelas di depan orang banyak melalui zine mereka. Maka tidaklah mengherankan jika zine muncul pertama kali di kalangan penggemar fiksi ilmiah, dimana kebanyakan dari mereka mempunyai kepandaian di atas rata rata tetapi kemampuan bersosialisasinya kurang.
Seperti juga zine Punk yang pertama kali di terbitkan oleh Legs McNeil, yang menjelaskan bahwa Punk adalah apa yang sering di katakan oleh guru guru kita dari dulu kalau kita tidak pernah cukup berharga untuk apapun di hidup ini.
Istilah zine (dibaca: zi'n) sendiri di ciptakan oleh seorang editor zine science fiction, Detours, Russ Chauvenet pada edisinya di bulan Oktober 1940.
Zine diambil dari kata "magazine" dimana kata "maga: dihilangkan untuk membedakannya dengan majalah yang konvensional. Sebelum istilah zine ditemukan, Benjamin Franklin pada abad ke-18 pernah membuat sebuah jurnal yang di bagikan gratis kepada pasien dan staff rumah sakit di Pennsylvania, ini juga bisa disebut sebagai zine pertama di dunia karena berhasil menangkap essensi dari filosophy dan arti zine di kemudian hari.
Zine sendiri pada masa-masa awal menggunakan tehnik cetak sederhana, dengan menggunakan mesin photokopi, cetak toko, mimeograph, mesin ketik manual, hectograph, bahkan tulisan tangan. Lay out zine pun tidak ada standar baku yang diterapkan, ada yang memakai program komputer (biasanya photoshop atau corel draw), di gambar sendiri artworknya atau tehnik yang paling populer di kalangan zine maker, cut and paste, yaitu menggunting dan menempelkan isi zine tersebut dengan lay out guntingan gambar dari majalah/koran lain.
Zine memang pada awal kemunculannya berkembang dari komunitas science fiction. Pada awalnya hal ini bermula dari sebuah majalah science pertama di US, Amazing Stories (1926), yang mana sang editor Hugo Gernsback memuat sebuah kolom yang berisi surat pembaca yang mana disitu juga di tulis alamat para pembuat surat pembaca tersebut. Kemudian para pembacanya mulai saling berkoresponden melalui majalah ini, inilah yang kemudian mengilhami terbentuknya zine science fiction.
Zine science fiction pertama adalah The Comet di tahun 1930, yang diterbitkan oleh the Science Correspondence Club di Chicago yang di editori oleh Raymond A. Palmer dan Walter Dennis. Dari sini kemudian mucul cabang cabang baru zine yang berasal dari komuntas science fiction.
Akhir 1930an, komunitas science fiction mulai banyak berdiskusi tentang komik, tapi baru di Oktober 1947 muncul zine komik pertama yaitu The Comic Collector's News yang di buat oleh Malcolm Willits dan Jim Bradley.
Lalu di awal tahun 1960an muncul zine jenis baru dari komunitas science fiction yaitu zine film horror yang pertama di buat oleh Tom Reamy, yaitu Trumpet (San Fransisco).
Di pertengahan 1960an, banyak penggemar science fiction dan komik yang ternyata menemukan kesamaan interest pada musik rock dan kemudian lahirlah zine musik rock seperti Crawdaddy (1966) yang di editori oleh Paul William yang berasal dari California, yang malah kemudian menjadi sebuah majalah musik yang professional. Kemudian pada tahun dan kota yang sama muncul zine Mojo Navigator yang di editori oleh Greg Shaw, yang mana pada tahun 1970 dia juga membuat zine Who Put The Bomb? dimana para kontributor zine ini kemudian banyak yang menjadi jurnalis musik kaliber internasional, seperti Lester Bangs, Greil Marcus, Dave Marsh, Mike Saunders dll. Sebuah zine yang mengulas tentang zine lain juga muncul dengan nama Factsheet Five yang di editori oleh Mike Gunderloy.
Baru pada pertengahan 1970an zine punk hadir bersamaan dengan munculnya musik punk, dimana essensi zine sangat sesuai dengan spirit dari punk itu sendiri. Zine punk pertama lahir di London, UK pada 4 juli 1976 bersamaan dengan debut Ramones, yaitu zine Sniffin' Glue yang di editori oleh Mark Perry. Lalu tahun selanjutnya baru muncul di USA, yaitu Slash dan Flipside (LA) serta kemudian ada Maximum RocknRoll yang kemudian sangat berpengaruh terhadap scene punk tetapi sekarang sudah berubah menjadi sebuah majalah musik professional. Dan dimulailah bermunculannya zine-zine yang mengakar pada scene punk, sperti Punk Planet, profane Existance, slug and lettuce, Heart Attack dll.
Mulailah zine menjadi lebih dikenal di komunitas komunitas musik lainnya, bahkan jarang ada yang tahu bahwa awalnya zine bukanlah berasal dari komunitas musik. Isi dari zine pun sudah mulai banyak variasinya, mulai dari musik, politik, film, hobi, agama, game, olah raga sampai personal (diary). Di akhir tahun 1990an zine seakan menghilang, seiring dengan pemakaian internet yang seakan menggantikan penggunaan zine sebagai ekspresi media personal, terutama dengan feature bloggingnya. Banyak juga zine yang berubah menjadi webzine (zine yang di upload di internet) seperti misalnya webzine Boingboing, Dead Sparrow, Noise Attack dll.
Pada perkembangan selanjutnya banyak bermunculan toko buku besar yang juga menyediakan zine seperti Cafe Royal (Melbourne), Reading Frenzy (Portland, USA), Quimby's (Chicago) . Perpustakaan besar di luar negri pun banyak yang menyediakn zine, seperti: Salt Lake City Public Library, Multnomah County Library (Portland) serta The San Fransisco Public Library yang notabene merupakan tiga perpustakaan besar di USA. Universitas pun tidak mau ketinggalan, misalnya di: Duke University , Barnard College Library, San Diego State University, De Paul University.
Ada juga perpustakaan yang isinya hanya menyediakan zine: ABC No Rio Zine Library (NY), The Zine Archive and Publishing Project (Seattle), The Independent Publishing Resource Center (Portland), The Hamilton Zine Library (Kanada), The Copy & Destroy zine Library (Australia).
Untuk event pameran, workshop dan simposium tentang zine pun banyak terdapat, misalnya: The 24 Hour Zine Thing, THe Philly Zine Fest dan the Portland Zine Symposium (USA), Canzine dan North Of Nowhere (Kanada), The Manchester zine fest dan The London Zine Symposium (Inggris), Independent Press and Zine Fair dan Make It Up zine Fair (Australia), Zinefest Mulheim (Jerman).
Zine sendiri masuk di Indonesia hampir bersamaan dengan masuknya musik punk sekitar awal 1990an, karena memang zine pada waktu itu identik dengan musik punk. tetapi zine bikinan anak indonesia sendiri mulai ada sekitar akhir 1990an, yang masih berkutat di scene musik hardcorepunk atau juga politik (yang tentu saja masih berhubungan dengan hardcorepunk juga).
Sebut zine zine seperti dari Bandung ada Tiga Belas zine (bikinan Arian 13,Puppen dan Seringai yang kemudian bekerja di majalah MTV Traxx ), Membakar Batas dan Gandhi Telah Mati (oleh Ucok Homicide), Mindblast (Malang), Urban (bikinan seorang dosen skinhead Jakarta, Een), Brainwashed (Wendy yang sekarang menjadi editor in chief-nya Rollingstone Indonesia, Jakarta) dll.
Baru kemudian di awal tahun 2000an muncul zine zine yang lebih variatif dan bersifat lebih personal seperti Rebellioussickness (zine musik dalam perspektif personal dari Bekasi), Eve (mengulas indiepop), Akal Bulus (curhat) , Puncak Muak dan Setara Mata (keduanya dibikin oleh mama zine Jakarta/Ika Vantiani yang juga membuka Peniti Pink, Jakarta), Vandal Boarder (zine tentang skateboard dr Bandung), Pingsan (Semarang,editornya kemudian menjadi editor Mosh Magz), Mati gaya (zine yang mengulas ide-ide tentang suicide dan agnosticism dari Jogjakarta), Kontrol Diri (Bogor) dan masih banyak lagi.
Pada perkembangannya kemudian, muncul webzine di Indonesia seperti Innergarden, Rock Is Not Dead, Dead Media (yang fokus ke podcast/streaming), Indogrind (Jogja), Semarang On Fire (Semarang), Dapur Letter, Death RockStar, Wasted Rockers (Bandung/Jakarta, awalnya berformat newsletter) , kemudian juga PDF zine (zine berformat PDF yang di distribusikan lewat email) seperti Euphoria PDF zine. Akan tetapi munculnya webzine dan PDF zine sendiri kadang menimbulkan kontroversi bagi para pemuja zine yang menyukai format cetak karena dianggap mematikan sisi manusiawi/personalnya.
Dengan adanya perkembangan zine tersebut, mulai banyak juga tempat yang menyediakan diri sebagai sebuah tempat distribusi atau perpustakaan zine, semisal di Jakarta ada (Peniti Pink, sebuah tempat yang komplit memuat banyak hal mulai dari distro, tattoo studio, distribusi zine, Food Not Bomb Jkt dll), Zine For All (sebuah perpustakaan zine yang nantinya juga akan membuat sebuah simposium zine) , Legacy Wear , di Depok ada Teriak Records (yang juga sebuah records label sekaligus distributor zine), Sophie Martil (sebuah taman bacaan di Palembang yang juga memuat zine di dalamnya), Kongsi jahat Syndicate (event organizer dan lapak di Jogja yang sekaligus juga mendistribusikan zine), Cookie Freaks (sebuah cafe baru di Jogja yang juga mendistribusikan zine serta rilisan), Menikam Maut (distro hardcorepunk di Solo yang juga mendistribusikan zine), Anak Muda produktionz (distributor zine di Bandung yang juga sering mengorganisir gig hardcorepunk), Mata mata (sebuah kolektif di baru di Bandung yang mendistribusikan zine), Remains (distro di Bandung yang juga mendistribusikan bahan bacaan termasuk zine), Garasi 337 (distro hardcorepunk & zine di Surabaya) dan masih banyak lagi terdapat zine serta tempat pendistribusian zine yang seringnya hanya berawal dari trade antar zinemaker.
Zine hari ini telah semakin berkembang pesat di kota kota di Indonesia. Hampir di setiap kota yang memiliki scene underground pasti juga memiliki zine yang kebanyakan memang dibuat oleh anak anak di scene tersebut, walaupun ada juga beberapa unit kegiatan kampus yang membuat media yang memiliki kesamaan karakter dengan zine.
Di Jogjakarta, perkembangan zine sendiri di mulai sekitar akhir 1990an dimana zine-zine pada saat itu berkutat pada wilayah seni grafis/komik yang dicampur dengan politik, semisal yang berasal dari lembaga kerakyatan Taring padi, Terompet Rakyat zine . Baru kemudian muncul zine-zine yang berasal dari scene hardcore, punk & skinhead yang tentu saja lebih membahas ke musik dan gaya hidup scene tersebut, contoh : Fight Back zine (bikinan agHus Hands Upon Salvation/KongsiJahatSyndicate) dan Bajingan (bikinan Wowok net label YesNoWave).
Fight Back zine kemudian berhasil memunculkan zine-zine lain yang kebanyakan editornya adalah kontributor di Fight Back zine, misalnya Betterday (berasal dari komunitas straight edge), Karang Malang Straight (yang tetap konsisten dengan konsep vegan dan straight edge), Innergarden (zine tentang hardcore dan straight edge yang mempunya 2 versi, satu versi photokopi dan satunya webzine).
Dari scene hardcorepunk pula muncul zine-zine yang sifatnya personal, di mulai oleh Mati Gaya zine (bertema depresif,ide ide suicide dan agnosticism) dan kemudian diikuti oleh My Own world (lebih ke dunia cewek dan musik hardcore), Happy Funeral (zine bikinan anak Situbondo yang kuliah di Jogja), Bukan (bikinan anak Aceh yang kuliah di Jogja), Puisi Tak Bertuhan (puisi puisi personal), Overture (straight edge dan musik hardcore dalam perspektif personal cewek) dan Carven Secret (puisi puisi).
Dari scene metal juga muncul Human Waste zine dan Mutted Diction Newsletter. Dari ranah indiepop muncul Shine zine (2001), newsletter Rise, Reveal dan kemudian yang paling baru Lightning Sheets zine.
Dari scene musik Blues kota Jogja lahir pula Blues zine yang sudah rilis 4 edisi. Kemudian dari scene punkrock ada Ancaman Arogan (hanya muncul 1 edisi),serta For The Dummies yang terbit versi photokopi dan di blog myspace band The Frankenstone.
Para komikus pun tak ketinggalan dengan membuat komik underground yang sebenarnya juga memakai essensi dan cara dari zine, yang berbeda spirit & hasilnya dengan komik mainstream. Ambil contoh kompilasi komik komik yang di produksi oleh komunitas Daging Tumbuh (2002, yang barusan juga membuka sebuah toko untuk zine komik), Gegabah, Melawan Mesin Fotokopi dll.
Sementara beberapa media seperti: Issue, Outskirt Voising dan D.A.B sendiri berdiri di tengah tengah antara zine dan magazine, atau lebih tepatnya di sebut pro-zine (professional zine, sebuah istilah yang juga di temukan oleh Russ Chauvenet) karena dari segi isi dan kapasitas para kontributor serta para editornya (yang notabene berasal dari scene musik cutting edge Jogja sendiri), masih bisa disebut zine tapi dari segi manajemen (pengelolaan) serta tampilan lebih ke magazine.
Zine baik dari segi fisik maupun isi sangatlah cocok sebagi media personal yang juga bertindak sebagai media counter culture dari majalah kebanyakan (professional). Dalam pembuatan zine pun disini kita lebih mementingkan pada keasyikan dalam proses membuatnya ketimbang hasil akhir yang di dapat. Kepuasan akan pencarian bentuk-bentuk lain dari yang sudah ada sebelumnya, yang selama ini seakan telah menjadi sebuah bentuk baku yang di standarisasi oleh pemikiran mainstream bahwa sebuah bacaan itu harus seperti ini, itu dan lain sebagainya.
Bahkan sampai pada titik puncak dimana para zine-maker pun sepakat bahwa untuk membuat sebuah bacaan (dalam hal ini zine) adalah suatu hal yang mudah, siapapun bisa dan tidak harus menyesuaikan dengan kaidah-kaidah tata bahasa yang baku, tehnik layout yang keren serta tetek bengek jurnalisme. Kemudian muncul slogan-slogan yang mendukung hal itu, seperti: membuat zine itu gampang, buat baca bagi, copy and destroy, zine for all dll.
Untuk mengenalkan kembali tradisi zine di Jogja, dimana zine sendiri semakin menghilang dengan berpindahnya para editor beberapa zine ke luar kota, maka kemudian di gagaslah sebuah pameran zine, yang sudah di gelar 2 kali, pertama bergabung dengan event musik Hardcore tahunan One Familly One Brotherhood #6 pada tahun 2007 di Kedai Kebun Forum, kemudian mulai berdiri sendiri melalui event pertama Jogjakarta Zine Attak pada tahun 2008 di Kinoki. Rencananya Jogjakarta Zine Attak! #2 akan di gelar bersamaan dengan launching pemutaran dvd tentang Yogyakarta Hardcore.
Pameran ini bertujuan untuk mengenalkan sebuah media alternatif bagi teman teman yang saat ini mungkin sudah lelah dengan format media yang terlalu baku dan kaku, atau juga bagi mereka yang ingin mencari sebuah bentuk lain, bentuk non formal dari media yang selama ini hanya itu itu saja. Pada pameran ini juga di harapkan bahwa nantinya juga bakal ada yang mau membuat zine mereka sendiri, menulis semua ide ide mereka ke dalam suatu bentuk media alternatif yang bersifat personal ini. So start your own zine!!! (Indra Menus)
Dimuat di FANTASI LIAR #2
DIALOG DINI HARI (Folk/Blues, Bali)
Akhirnya, FL Share berkesempatan mewawancarai band folk/blues/ballads asal Bali ini. Nama DIALOG DINI HARI mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga para penikmat music indie/cutting edge di seluruh Indonesia, pasalnya band ini akan segera merilis album ketiganya awal tahun depan. Nice music, nice persons.
Langsung simak bincang-bincang asik ini!!
Langsung simak bincang-bincang asik ini!!
Halo Dialog Dini Hari.. Boleh minta waktunya untuk bincang-bincang sebentar dan terimakasih sebelumnya hehe?
Tentu saja Anang :) silahkan. *gelar tiket, bakar menyan, elus jenggot..
(hhaasik, Red)
Tentu saja Anang :) silahkan. *gelar tiket, bakar menyan, elus jenggot..
(hhaasik, Red)
Sebelum bincang-bincang lebih jauh, tolong perkenalkan satu-persatu personil Dialog Dini Hari mulai dari nama, posisi di band, kesibukan, hobi, status dll agar lebih dekat dg temen-teman pembaca Fantasi Liar..
Dadang Pranoto (Lead Vocal & Guitar) kesibukan bikin lagu, bikin lagu dan bikin lagu. Hobby ganti senar gitar. Status mandiri.
Dadang Pranoto (Lead Vocal & Guitar) kesibukan bikin lagu, bikin lagu dan bikin lagu. Hobby ganti senar gitar. Status mandiri.
Brozio Orah (Back Vocal & Bass) sibuk jadi boss. Hobby naik sepeda di sekitar pantai Seminyak. Status: "I'm a father of my little angel."
Deny Surya (Drum) kesibukan ngelap Drum Set, Hobby menyiram di alaman rumah. Status tergantung mention di twitter.
Bisa diceritakan sejarah terbentuknya DIALOG DINI HARI (DDH) dan perjalanan band ini hingga line-up seperti ini?
Pada akhir kuartal pertama di tahun 2008 dua senior musisi Bali, Dadang SH Pranoto dan Ian Joshua Stevenson serta Mark Liepmann duduk bersama. Menyepakati diri mengalirkan dialog bebas lepas tengah malam dan merangkumnya kedalam musik dan notasi sederhana. Sembari sejenak menanggalkan emblem yang telah menahun melekat pada eksistensi band-band mereka.
Pada akhir kuartal pertama di tahun 2008 dua senior musisi Bali, Dadang SH Pranoto dan Ian Joshua Stevenson serta Mark Liepmann duduk bersama. Menyepakati diri mengalirkan dialog bebas lepas tengah malam dan merangkumnya kedalam musik dan notasi sederhana. Sembari sejenak menanggalkan emblem yang telah menahun melekat pada eksistensi band-band mereka.
Leburan demi leburan blues, folk dan ballad ditakar oleh DIALOG DINI HARI sedemikian tepat sebagai degup-melodi penghantar pesan ringan-cerdas-indah dalam warna vokal bariton yang merdu menyeruak dari dalam luka yang membekas. Sedangkan dominasi suara gitar aksutik dan semi-steel-dobro yang khas, plus selingan gesekan steel-slide yang kasar dan ekspresif berhasil membangun dinamika nuansa live yang sangat terjaga.
Banyak hal yg terjadi dalam kurun waktu 2 tahun setelah peluncuran album Beranda Taman Hati yang menyita banyak energi dan pikiran masing-masing personil Dialog Dini Hari. Sebuah side project yang terus bergulir dan tumbuh. Diperkuat dengan formasi yang berbeda dari album sebelumnya, kini Dadang SH Pranoto Denny Surya penggebuk drum yang menjadi panutan dikalangan drummer di Bali dan juga Brozio Orah pemetik Bass ikut memperkaya alunan musik Dialog Dini Hari sampai hari ini.
Apa pemaknaan arti dari nama DIALOG DINI HARI itu sendiri dan mengapa memilih nama itu ?
Sesederhana matahari yang terbit di ufuk timur memulai hari... memilihnya menjadi harmoni.
(puitis banget haha!)
Sesederhana matahari yang terbit di ufuk timur memulai hari... memilihnya menjadi harmoni.
(puitis banget haha!)
2009 yang lalu DDH menelurkan album ke 2 "Beranda Taman Hati" dan juga membuat 3 Single, masing-masing "Aku Adalah Kamu", "Sang Air" untuk Album kompilasi Earth Day Festival, "Pohon Tua Bersandar" untuk album kompilasi Young Sound of Bali #3. Kalian berencana akan release Album #3 awal tahun depan, sejauh ini sudah sampai mana persiapan/penggarapan untuk perilisan album ketiga dan apa konsep yang akan kalian tuangkan di album ketiganya ?
Kita sudah selsai take tinggal mixing dan produksi. Kalau konsep, hmmm... bilang nggak yah? Nanti saja biar jadi kejutan :D
Untuk perilisan Album #3 sendiri, apakah kalian tetap akan bersama label The Blado Beatsmith ato bahkan akan bersama label lain ? Atau terikat kontrak ga dg label The Blado Beatsmith ? ada deadline kah utk penggarapan album ketiganya ?
Untuk label kita masih dalam tahap PDKT dengan yang lain. Januari tahun depan.
Ngomong-omong seputar lirik yang ada di semua album DDH. Seberapa pentingkah lirik bagi kalian ?
Penting, musik kami adalah lirik.
Penting, musik kami adalah lirik.
Bagaimana masing-masing dari kalian memaknai musik yang kalian usung ?
Musik itu "bebas" setiap orang mempunyai kebebasan untuk memaknai sebuah lagu dan itu sangat personal. :) kamu boleh mengartikan apapun sebuah musik untuk dirimu sendiri. Jangan memaksakannya kepada orang lain.
Musik itu "bebas" setiap orang mempunyai kebebasan untuk memaknai sebuah lagu dan itu sangat personal. :) kamu boleh mengartikan apapun sebuah musik untuk dirimu sendiri. Jangan memaksakannya kepada orang lain.
Bagaimana tanggapan teman-teman di scene Bali (khususnya) dan Nusantara (umumnya) terhadap DDH ?
Di Bali kami "bermain" dihalaman teman kami sendiri kita bersenang-senang. Kalau di Nusantara kita baru masuk gerbang sedikit.
Di Bali kami "bermain" dihalaman teman kami sendiri kita bersenang-senang. Kalau di Nusantara kita baru masuk gerbang sedikit.
Bagaimana perkembangan scene indie (di Bali sendiri dan Indonesia) sekarang ini menurut kalian?
Baguslah, jenis musik semakin beragam. Kita semua belajar dan belajar.
(setuju, belajar dengan semua jenis musik apapun, Red)
Baguslah, jenis musik semakin beragam. Kita semua belajar dan belajar.
(setuju, belajar dengan semua jenis musik apapun, Red)
Kenapa kalian tidak membuat tour ke kota-kota di Indonesia untuk lebih dekat dengan penggemar kalian ?
Impian sebuah band adalah tour ke pelosok Negeri. Kami mau.
(semoga kalian akan membuat tour untuk album ketiga :), Red)
Impian sebuah band adalah tour ke pelosok Negeri. Kami mau.
(semoga kalian akan membuat tour untuk album ketiga :), Red)
Lalu seberapa penting merchandise bagi sebuah band indie/ cutting edge? Akhir-akhir ini, banyak sekali kita jumpai pembajakan-pembajakan merch band-band lokal oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, apa tanggapan kalian mengenai itu?
Untuk band kacangan seperti kami biarkan saja, orang juga perlu makan. Sebagai catatan kita lelah sendiri membawa isu pembajakan, berbicara lebih mudah daripada melakukan. Jadi kita hanya mengandalkan apresiasi tinggi dari "Sahabat Pagi" yang mencintai musik kami untuk tetap membeli semua hal berkaitan official dari Dialog Dini Hari.
Untuk band kacangan seperti kami biarkan saja, orang juga perlu makan. Sebagai catatan kita lelah sendiri membawa isu pembajakan, berbicara lebih mudah daripada melakukan. Jadi kita hanya mengandalkan apresiasi tinggi dari "Sahabat Pagi" yang mencintai musik kami untuk tetap membeli semua hal berkaitan official dari Dialog Dini Hari.
Band-band (lokal dan manca) apa saja yang sangat kalian rekomendasikan untuk didengar dan dilihat?
Banyak sekali musik lokal yang bagus, begitu juga manca negara. Gunakan jalur alternatif, temukan scene-scene baru.
Band-band apa saja yang telah menginfluences kalian untuk bermusik didalam DDH?
Semua musisi/band blues & folks seluruh dunia.
(lengkap dan sangat mewakili ahaha, Red)
(lengkap dan sangat mewakili ahaha, Red)
Rencana kedepannya untuk DDH sendiri?
Ingin punya studio sendiri, stasiun TV sendiri, Label sendiri, Mandiri!
Last words for the readers?
Salam Beribu Cinta
Terimakasih banyak ya temen-temen DIALOG DINI HARI atas waktunya.. Sukses terus!!
Terima kasih juga, maaf telat balas email maklum kami orang2x lama yang terbiasa dengan kartu post dan wesel.
(nothing, wah itu weselnya asik bli ahaha, Red)
Kontak:
http://dialogdinihari.com/
http://dialogdinihari.com/
Subscribe to:
Posts (Atom)