Istilah Cutting Edge yang belakangan ini beredar di dunia musik merujuk pada sebuah arti penjelajahan musikal yang beraneka ragam sehingga menghasilkan karya yang unik dan mempunyai perbedaan tajam dengan musik mainstream sehingga menghasilkan suatu budaya tanding. Istilah ini seakan muncul sebagai bentuk rasa ketidakpuasan akan terminologi "indie" yang selama ini sudah kadung disalah-artikan. Perdebatan mengenai musik mainstream dengan budaya tandingnya tidak akan ada habisnya dan mungkin tidak akan pernah bisa dikaji definisi tepatnya secara pasti mengingat beberapa media salah kaprah menempatkan musik non-mainstream ke dalam ranah abu-abu yang bahkan terkadang memberikan label "indie" kepada suatu artis/band hanya karena artis/band itu sebatas memproduksi album dengan etos "do it yourself". Secara bahasa memang indie berasal dari kata independent yang berarti bebas, merdeka, tidak bergantung kepada orang lain.
Berangkat dari situlah terminologi cutting edge muncul. Musik cutting edge acapkali dinilai sebagai musikalisasi yang keluar dari jalur dan terkadang membuat orang berekspektasi bahwa musik cutting edge adalah musik yang susah dicerna dan menjadi konsumsi orang-orang berselera aneh. Point inilah yang menjadi rancu dan salah kaprah.
Mari kita bahas dengan alur yang runtut. Sejauh ini publik menilai dan menggeneralisasi artis/band yang berkarya secara do it yourself sebagai artis/band indie meskipun musik yang dibawakannya amat mainstream sekali misalnya. Ini tidak sepenuhnya salah, mengingat persepsi ini timbul dari pengertian status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label. Pemahaman ini menimbulkan jenis musisi "indie karena gagal major". Terpaksa merilis karyanya secara independen karena tidak ada major label yang tertarik, misalnya. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie ? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Pada dasarnya etos indie muncul karena ada artis/band dengan idealisme tinggi yang tidak menghendaki adanya campur tangan label dalam proses kreatifnya dan menginginkan kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi yang seringkali tidak sejalan dengan pakem bisnis dari major label ataupun jalur mainstream (kita ambil contoh dari Death Vomit, band asal Jogja yang berkeras memilih balik kandang jika produser tetap meminta mereka mengubah gaya vokalnya menjadi lebih bernyanyi pada kompilasi Metalik Klinik I di tahun 1997). Atas tafsir sempit itu tadilah maka kemudian berkembang istilah cutting edge, paham dimana selain melakukan pendobrakan atas kelumrahan, juga menjadi pembeda atas mereka yang masuk dalam golongan "indie karena gagal major".
Lalu, bagaimanakah menentukan suatu jenis musik, apakah termasuk cutting edge atau bukan?
Sulit rasanya menjawab pertanyaan tersebut. Bisa saja dijawab: "musik cutting edge itu musik yang sudah naik tingkatannya dari indie, naik strata. Lebih memerlukan ekstra pemahaman untuk mengapresiasinya, lebih rumit struktur musiknya, musiknya kaum minoritas". Tapi ternyata tidak bisa seperti itu juga, karena ternyata musik yang mendekati mainstream dan easy listening pun bisa masuk kategori cutting edge. Elemen pembedanya adalah berani merubah cara penyampaian pesan dari suatu karya. Misalkan pada industri musik lokal saat ini trendnya adalah lagu dengan tema-tema percintaan dan perselingkuhan, maka artis/band yang mempunyai jiwa cutting edge akan bisa memperoleh sudut pandang yang berbeda dari tema yang sama sehingga tidak klise. Ambil contoh Melancholic Bitch dan Efek Rumah Kaca yang walaupun amat ramah di telinga tapi kualitasnya jauh diatas artis/band yang rajin muncul di acara musik pagi hari. No offense, and no description needed kan?
Cutting edge bukanlah suatu pergerakan yang menginginkan pencitraan tampil beda. Tidak sesederhana itu. Cutting edge adalah apresiasi dari kebebasan berekspresi tanpa diboncengi ekspektasi berlebihan. Lihatlah bagaimana Kurt Cobain menjadi stres lalu bunuh diri karena Nirvana menjadi amat mainstream dan terkenal. Ini adalah contoh dari mereka yang bekerja karena idealismenya, bukannya demi uang dan popularitas semata.
Apakah term cutting edge hanya berlaku di dunia non-mainstream saja? Jawabannya adalah tidak. Faktanya adalah beberapa artis/band yang diberkahi dengan daya kreasi yang luar biasa dan tergabung dalam major label, pun bagian dari ranah mainstream mempunyai perilaku dan pola pikir yang justru cutting edge sekali. Menciptakan musik yang ramah publik namun kaya akan idealisme. Tidak klise dan tidak pasaran tapi mampu menciptakan pasar. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music (major) namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena root, character dan attitude mereka adalah indie.
Mari kita bahas dengan alur yang runtut. Sejauh ini publik menilai dan menggeneralisasi artis/band yang berkarya secara do it yourself sebagai artis/band indie meskipun musik yang dibawakannya amat mainstream sekali misalnya. Ini tidak sepenuhnya salah, mengingat persepsi ini timbul dari pengertian status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label. Pemahaman ini menimbulkan jenis musisi "indie karena gagal major". Terpaksa merilis karyanya secara independen karena tidak ada major label yang tertarik, misalnya. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie ? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Pada dasarnya etos indie muncul karena ada artis/band dengan idealisme tinggi yang tidak menghendaki adanya campur tangan label dalam proses kreatifnya dan menginginkan kebebasan sepenuhnya dalam berekspresi yang seringkali tidak sejalan dengan pakem bisnis dari major label ataupun jalur mainstream (kita ambil contoh dari Death Vomit, band asal Jogja yang berkeras memilih balik kandang jika produser tetap meminta mereka mengubah gaya vokalnya menjadi lebih bernyanyi pada kompilasi Metalik Klinik I di tahun 1997). Atas tafsir sempit itu tadilah maka kemudian berkembang istilah cutting edge, paham dimana selain melakukan pendobrakan atas kelumrahan, juga menjadi pembeda atas mereka yang masuk dalam golongan "indie karena gagal major".
Lalu, bagaimanakah menentukan suatu jenis musik, apakah termasuk cutting edge atau bukan?
Sulit rasanya menjawab pertanyaan tersebut. Bisa saja dijawab: "musik cutting edge itu musik yang sudah naik tingkatannya dari indie, naik strata. Lebih memerlukan ekstra pemahaman untuk mengapresiasinya, lebih rumit struktur musiknya, musiknya kaum minoritas". Tapi ternyata tidak bisa seperti itu juga, karena ternyata musik yang mendekati mainstream dan easy listening pun bisa masuk kategori cutting edge. Elemen pembedanya adalah berani merubah cara penyampaian pesan dari suatu karya. Misalkan pada industri musik lokal saat ini trendnya adalah lagu dengan tema-tema percintaan dan perselingkuhan, maka artis/band yang mempunyai jiwa cutting edge akan bisa memperoleh sudut pandang yang berbeda dari tema yang sama sehingga tidak klise. Ambil contoh Melancholic Bitch dan Efek Rumah Kaca yang walaupun amat ramah di telinga tapi kualitasnya jauh diatas artis/band yang rajin muncul di acara musik pagi hari. No offense, and no description needed kan?
Cutting edge bukanlah suatu pergerakan yang menginginkan pencitraan tampil beda. Tidak sesederhana itu. Cutting edge adalah apresiasi dari kebebasan berekspresi tanpa diboncengi ekspektasi berlebihan. Lihatlah bagaimana Kurt Cobain menjadi stres lalu bunuh diri karena Nirvana menjadi amat mainstream dan terkenal. Ini adalah contoh dari mereka yang bekerja karena idealismenya, bukannya demi uang dan popularitas semata.
Apakah term cutting edge hanya berlaku di dunia non-mainstream saja? Jawabannya adalah tidak. Faktanya adalah beberapa artis/band yang diberkahi dengan daya kreasi yang luar biasa dan tergabung dalam major label, pun bagian dari ranah mainstream mempunyai perilaku dan pola pikir yang justru cutting edge sekali. Menciptakan musik yang ramah publik namun kaya akan idealisme. Tidak klise dan tidak pasaran tapi mampu menciptakan pasar. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music (major) namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena root, character dan attitude mereka adalah indie.
Menilik dari contoh diatas, maka cara paling mudah mendeskripsikan perbedaan musik mainstream dengan budaya tandingnya ada pada Root, Character serta Attitudenya. Sebagai budaya tanding, maka sudah tentu pihak cutting edge adalah opposite dari mainstream. Akar musiknya, karakter dari idealismenya serta perilaku personal mencerminkan perbedaan paham yang mencolok sekali. Maka jelaslah, bagaimanapun anda membesarkan band anda dengan etos do it yourself atau secara swadaya, jika pola pikir anda sangat mainstream sekali dan menghasilkan sesuatu yang mainstream pula, saya rasa anda tahu anda berada di pihak yang mana.(DOZAN ALFIAN)
No comments:
Post a Comment